Miskonsepsi Permaculture Nomer 3

Miskonsepsi Permaculture Nomer 3

Jika anda sudah belajar tentang permaculture pasti telah mendengar tentang zona permaculture. Zona ini berfungsi untuk membantu mendesain area untuk menghemat waktu dan energi serta menambah efisiensi. Zona yang ada apabila diterapkan memang benar-benar masuk akal, KECUALI anda mundur karena langsung berpikiran bahwa permaculture itu harus memiliki lahan minimal beberapa hektar (anggapan yang paling sering saya dengar). Lalu bagaimana jika kita hanya memiliki 100, 200 bahkan 20 meter lahan diperkotaan? Atau bahkan hanya memiliki atap untuk dijadikan rooftop garden.

Kekeliruan mengenai hal ini akan menjadi lebih panjang, dengan asumsi bahwa permaculture hanya kegiatan yang dapat dilakukan oleh kalangan menengah keatas yang memiliki lahan beberapa hektar.

Saya telah merenungkan pertanyaan dan pernyataan serupa hal ini. Dan sering shock apabila ada yang langsung membanggakan bahwa dia sudah mendesign hingga zona 5.

Saya juga lebih shock menyaksikan ada seorang pekebun mengajarkan permaculture kepada anak SD dengan memperkenalkan sistem zoning.

Permaculture bukanlah hal saklek seperti zoning yang seperti wajib diterapkan pertama kali.

Penerapan permaculture adalah sebuah pola pikir dan sikap. Dan salah satu tujuan dan prinsip permaculture adalah “Make the least change for the greatest effect” dan “Observe & Interact”, “Use small, slow solution” yang dapat disimpulkan bahwa pendekatan pengaplikasian permaculture bukan hanya dengan zoning, melainkan apa permasalahan paling urgent dan nyata didepan mata.

Misalkan, salah satu desa binaan kami memiliki permasalahan utama kelebihan panen, jadi kami melakukan pendekatan untuk product developmentnya teelebih dahulu dibandingkan dengan melakukan zonasi lahan.

Ada pula satu daerah yang memiliki masalah sampah, jadi edukasi dan aplikasi permaculture dimulai dengan zero waste management.

Hentikan pemikiran melulu mengenai zoning dan dimulailah dengan permasalahan nyata didepan mata untuk dicarikan solusinya agar dapat perlahan menuju pengaplikasian permaculture. Lagipula, hal besar tentu saja dimulai dari yang paling kecil dulu bukan? So identify the problem first to permaculture approach next.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *